Hak Cuti Pekerja yang Wajib Dipenuhi Pengusaha

Hak Cuti Pekerja yang Wajib Dipenuhi Pengusaha

Hak Cuti Pekerja yang Wajib Dipenuhi Pengusaha

“Jika pengusaha sebagai pemberi kerja sengaja tidak memenuhi hak pekerja, maka sama saja melanggar hak asasi manusia.”

Sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan pekerja terkait tanggal merah pada tahun 2022 hanya berhenti di tanggal 17 Agustus saja.

Maksud berhenti di sini bukan menghilangkan tanggal merah lainnya. Jika diperhatikan pada kalender, 17 Agustus 2022 ini merupakan tanggal merah terakhir yang jatuh pada hari kerja (weekdays).

Tentu saja hal ini disayangkan oleh para pekerja dengan sistem 5 hari kerja. Otomatis, bonus hari libur untuk melepas penat berkurang lumayan banyak.

Berbicara tentang istirahat dari beban kerja, para pekerja ini juga memiliki hak untuk meliburkan diri, yang disebut dengan hak atas cuti.

Ketentuan terkait hak cuti ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), dan aturan pelaksananya.

Lantas, apa saja hak atas cuti yang wajib didapatkan oleh pekerja?

Hak Cuti Pekerja/Buruh

Menyadur dari jurnal “Pengaturan Hak Normatif bagi Pekerja/Buruh menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan” oleh Joko Nur Sariono dan Suhandi, disimpulkan bahwa secara garis besar, beberapa hak cuti pekerja/buruh bisa dipaparkan sebagai berikut.

1. Cuti tahunan
Ketentuan cuti tahunan ditunjukkan sebagai berikut (Pasal 79 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan, sebagaimana diubah dengan Pasal 79 ayat (3) UU Cipta Kerja):

  • Pekerja/buruh baru bisa memperoleh cuti tahunan jika sudah menempuh masa kerja selama 12 bulan secara terus menerus.
  • Jumlah cuti tahunan yang bisa diberikan pada pekerja/buruh paling sedikit 12 hari kerja.

 

2. Cuti besar

Cuti besar dikenal dengan istilah istirahat panjang. Ada perbedaan yang signifikan terkait pengaturan istirahat panjang pada UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja.

Pada UU Ketenagakerjaan, istirahat panjang hanya bisa dilakukan oleh perusahaan tertentu. Ketentuan lebih lanjut adalah sebagai berikut (Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan):

  • Pekerja/buruh baru bisa mendapat istirahat panjang jika sudah menempuh masa kerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama.
  • Istirahat panjang diberikan sekurang-kurangnya 2 bulan dan baru bisa dilaksanakan pada tahun ketujuh.
  • Istirahat panjang diberikan masing-masing selama 1 bulan dan baru bisa dilaksanakan pada tahun kedelapan.
  • Namun, jika hak istirahat panjang telah dipakai, pekerja/buruh tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan. Istirahat panjang bisa berlaku lagi setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.

Sementara dalam UU Cipta Kerja, istirahat panjang hanya bisa dilakukan oleh perusahaan tertentu. Ketentuannya pun diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama masing-masing perusahaan (Pasal 79 ayat (5) UU Cipta Kerja).

 

3. Cuti sakit

Merujuk pada UU Ketenagakerjaan, pekerja/buruh dapat mengajukan cuti karena sakit dengan disertai bukti surat keterangan dari dokter.

Jika pekerja/buruh benar-benar dikonfirmasi sakit oleh surat keterangan dokter, maka hak yang menyertai selain cuti di antaranya:

  • Upah tetap dibayar sebagaimana mestinya (Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan).
  • Tidak dapat dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh pengusaha, selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus (Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja).

Perlu diketahui bahwa bayaran upah pada pekerja/buruh yang sakit atas keterangan dokter dikenakan ketentuan sebagai berikut (Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan): 

  • Jika pekerja/buruh sakit selama 4 bulan pertama, maka dibayar 100 persen dari upah.
  • Pada 4 bulan kedua (sudah 8 bulan cuti), maka dibayar 75 persen dari upah.
  • Pada 4 bulan ketiga (sudah 12 bulan cuti), maka dibayar 50 persen dari upah.
  • Pada bulan selanjutnya (sudah 13 bulan cuti atau lebih dari 12 bulan), maka dibayar 25 persen dari upah, sebelum akhirnya diputuskan adanya PHK.

 

4. Cuti menjalankan ibadah berdasarkan kewajiban agama

Baik dalam UU Ketenagakerjaan maupun UU Cipta Kerja, pekerja/buruh yang menunaikan ibadah menurut agamanya boleh mengajukan cuti.

Contohnya, pekerja/buruh yang memeluk agama Islam hendak berangkat naik haji atau umroh yang memakan waktu lebih dari seminggu. Mereka berhak mendapat cuti melaksanakan ibadah.

Selain cuti, ada hak-hak lain yang menyertai pekerja/buruh dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, antara lain:

  • Upah tetap dibayar sebagaimana mestinya (Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan).
  • Tidak dapat dikenakan PHK oleh pengusaha (Pasal 153 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja). 

 

5. Cuti karena alasan penting

Berdasarkan penafsiran dari Endang Rokhani dalam Pengetahuan Dasar tentang Hak-Hak Buruh, alasan-alasan penting yang bisa dijadikan acuan cuti pekerja/buruh meliputi:

  • Menikah.
  • Menikahkan anaknya.
  • Mengkhitan atau membaptis anaknya.
  • Istri melahirkan/keguguran.
  • Orang tua, suami/istri, anak, atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.

6. Cuti haid

Salah satu hak cuti yang melekat pada pekerja/buruh perempuan ini bisa didapat dengan ketentuan:

  • Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, maka tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
  • Rincian lebih lanjut dari ketentuan cuti haid ini dipaparkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

7. Cuti hamil dan melahirkan

Ketentuan cuti hamil dan melahirkan ditunjukkan sebagai berikut (Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan):

  • Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak menurut perhitungan dari dokter atau bidan.
  • Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dari dokter atau bidan.

Perlu diketahui bahwa lamanya cuti hamil dan cuti melahirkan ini bisa diperpanjang dengan bukti surat keterangan dari dokter atau bidan.

Selain itu, pengusaha dilarang keras melakukan PHK terhadap pekerja/buruh perempuan yang hamil, melahirkan, menyusui, atau keguguran (Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja).

 

8. Cuti keguguran

Selain melahirkan, pekerja/buruh perempuan juga memiliki hak cuti saat mengalami musibah gugur kandungan (keguguran).

Ketentuan dari cuti keguguran adalah sebagai berikut (Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan):

  • Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dari dokter atau bidan.

Salah satu alasan yang melarang pengusaha melakukan PHK adalah ketika pekerja/buruh perempuan pada perusahaannya tengah mengalami keguguran. Ini merupakan jenis perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh perempuan (Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja).

Apakah Hak Cuti antara Karyawan Kontrak dan Karyawan Tetap Berbeda?

Sebelum menjawab ini, mari kenali dulu definisi karyawan tetap dan karyawan kontrak secara singkat.

Dalam lingkup UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, karyawan kontrak dikenal sebagai karyawan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Sementara itu, karyawan tetap disebut sebagai karyawan dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).

Definisi dari PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.

Sedangkan PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.

Kedua definisi di atas disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021).

Secara garis besar, hak atas cuti yang didapatkan oleh karyawan PKWT (kontrak) dan karyawan PKWTT (tetap) adalah sama. Dengan catatan, harus memerhatikan jangka waktu berakhirnya PKWT.

Oleh karena itu, ada pengecualian terhadap hak atas cuti tahunan dan cuti besar bagi karyawan PKWT. Penggambarannya bisa dikatakan sebagai berikut:

  • Jika PKWT berjangka waktu selama satu tahun, maka tidak bisa mendapat cuti tahunan.
  • Jika PKWT lebih dari 1 tahun (maksimal 2 tahun), maka bisa mendapat cuti tahunan.
  • Jika PKWT hanya selama satu tahun, maka biasanya tidak bisa mendapat cuti besar (istirahat panjang).

Selain cuti tahunan dan cuti besar, pada dasarnya ketentuan terkait hak cuti yang lain masih melekat pada pekerja PKWT.

Minat mendirikan usaha sekalian konsultasi tentang hak pekerja? Silakan hubungi kami, Prolegal!

Author & Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in