Tak Mau Produk Anda Ditarik dari Peredaran? Simak, Prosedur Lengkap Pengurusan Sertifikat Halal Tahun 2022!

Tak Mau Produk Anda Ditarik dari Peredaran? Simak, Prosedur Lengkap Pengurusan Sertifikat Halal Tahun 2022!

“Setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dan terhadapnya wajib diberikan keterangan tidak halal.”

Membangun kepercayaan konsumen merupakan salah satu hal penting yang perlu dilakukan pelaku usaha yang ingin sukses membangun bisnisnya.

Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan mengurus sertifikat halal untuk produk yang dijualnya dan menjamin bahwa produk aman dikonsumsi atau dipakai oleh masyarakat muslim. Sebaliknya, melabeli produknya tidak halal apabila tidak.

Lantas, bagaimana ketentuan hingga tahap-tahap permohonan Sertifikat Halal? Simak pemaparan di bawah ini!

Dasar Hukum

Ketentuan mengenai Sertifikat Halal tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (PP 39/2021).

PP tersebut menyatakan bahwa, setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dan terhadapnya wajib diberikan keterangan tidak halal. Untuk dapat memperoleh Sertifikat Halal, produk harus berasal dari bahan halal dan memenuhi Proses Produk Halal (PPH).

Pihak-Pihak yang Terlibat

Selain pelaku usaha, terdapat beberapa pihak lainnya yang berperan penting dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH), yakni:

  1. BPJPH sebagai Penyelenggara JPH
    Lembaga yang bertugas menyelenggarakan JPH ialah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Adapun, kewenangan BPJPH termasuk (Pasal 5 PP 39/2021):

    • merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.
    • menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.
    • menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada produk.
    • melakukan registrasi Sertifikat Halal pada produk luar negeri.
    • melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal.
    • melakukan akreditasi terhadap Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
    • melakukan registrasi Auditor Halal.
    • melakukan pengawasan terhadap JPH.
    • melakukan pembinaan Auditor Halal.
    • melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
  2. LPH sebagai Lembaga Pemeriksa dan Penguji
    Kemudian, terdapat Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang merupakan lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan produk. Lembaga yang wajib terakreditasi oleh BPJPH ini memiliki lingkup kegiatan, sebagai berikut (Pasal 37 ayat (2) PP 39/2021):

    • verifikasi/validasi.
    • inspeksi produk dan/atau PPH.
    • inspeksi rumah potong hewan/unggas atau unit potong hewan/unggas.
    • inspeksi, audit, dan pengujian laboratorium jika diperlukan terhadap kehalalan produk. 
  3. Auditor Halal sebagi Pemeriksa Kehalalan Produk
    Orang yang melakukan pemeriksaan kehalalan produk di dalam LPH disebut dengan Auditor Halal. Auditor Halal wajib bersertifikasi, serta didaftarkan kepada BPJPH sebagai Auditor Halal oleh LPH yang menaunginya.
  4. Penyelia Halal sebagai Penanggungjawab PPH pada Bisnis Pelaku Usaha
    Pelaku usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal diwajibkan memiliki Penyelia Halal (Pasal 49 PP 39/2021), yang bertugas dalam (Pasal 51 PP 39/2021): 

    • mengawasi PPH di perusahaan.
    • menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan. 
    • mengoordinasikan PPH.
    • mendampingi Auditor Halal pada saat pemeriksaan.

Penyelia halal diangkat dan ditetapkan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Adapun, seorang Penyelia Halal wajib memiliki sertifikat pelatihan dan sertifikat kompetensi Penyelia Halal.

Setelah menetapkan Penyelia Halal, pimpinan pelaku usaha wajib menyampaikan penetapan kepada BPJPH. Namun, khusus bagi pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK), penetapan Penyelia Halal cukup didasarkan atas sertifikat pelatihan Penyelia Halal.

  1. MUI sebagai Penetap Kehalalan Produk
    Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim, berperan dalam menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal (Pasal 76 ayat (1) PP 39/2021).

Permohonan Sertifikat Halal

  1. Pengajuan Permohonan
    Tahap pertama dalam memperoleh Sertifikat Halal, tentunya pelaku usaha perlu mengajukan permohonan Sertifikat Halal kepada BPJPH. Hal ini dilakukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia melalui sistem elektronik (tepatnya melalui ptsp.halal.go.id), dengan dilengkapi dokumen (Pasal 59 ayat (2) PP 39/2021):

    • data pelaku usaha, dibuktikan dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) atau dokumen izin usaha lainnya.
    • nama dan jenis produk.
    • daftar produk dan bahan yang digunakan, yang harus merupakan produk dan bahan halal.
    • pengolahan produk, yang memuat keterangan mengenai pembelian, penerimaan, penyimpanan bahan yang digunakan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan produk jadi, dan distribusi.
  2. Pemeriksaan Kelengkapan Dokumen
    Setelah itu, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen permohonan dalam jangka waktu maksimal 1 hari sejak permohonan diterima (Pasal 66 PP 39/2021).
  3. Penetapan LPH
    Jika permohonan telah lengkap, tahap selanjutanya adalah pemilihan LPH oleh pelaku usaha. Kemudian BPJPH menetapkan LPH dalam jangka waktu maksimal 1 hari sejak dokumen permohonan dinyatakan lengkap. Dengan mempertimbangkan, akreditasi, ruang lingkup kegiatan, aksesibilitas, beban kerja, dan kinerja LPH (Pasal 67 PP 39/2021).
  4. Pemeriksaan dan Pengujian Kehalalan Produk
    Tahap selanjutnya adalah LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh BPJPH. Pemeriksaan dan/atau pengujian tersebut meliputi (Pasal 68 ayat (2) PP 39/2021): 

    1. Pemeriksaan keabsahan dokumen persyaratan sebagaimana telah diuraikan di atas.
    2. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk.

Pemeriksaan dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi secara tatap muka. Jika hasil pemeriksaan menunjukan adanya bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.

Pemeriksaan dan/atau pengujian untuk produk yang diproduksi di dalam maupun di luar negeri dilakukan dalam jangka waktu maksimal 15 hari sejak penetapan LPH diterbitkan oleh BPJPH. Setelah melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengujian, LPH menyampaikan hasilnya kepada MUI dengan tembusan kepada BPJPH.

  1. Penetapan Kehalalan produk
    Penetapan kehalalan produk dilaksanakan oleh MUI, baik MUI pusat, provinsi, kabupaten/kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, melalui sidang fatwa halal MUI (Pasal 76 PP 39/2021). Adapun, hasil penetapan berupa penetapan halal produk atau penetapan ketidakhalalan produk. MUI kemudian menyampaikan penetapan kepada BPJPH dalam jangka waktu maksimal 3 hari sejak hasil pemeriksaan kelengkapan dokumen dari LPH diterima MUI.
  2. Penerbitan Sertifikat Halal
    Jika hasil penetapan berupa penetapan halal produk, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal, yang berlaku selama 4 tahun dan dapat diperpanjang. Sementara jika hasil penetapan berupa penetapan ketidakhalalan produk, BPJPH mengeluarkan surat keterangan tidak halal. Penerbitan sertifikat atau surat keterangan ini dilakukan dalam jangka waktu maksimal 1 hari sejak penetapan MUI diterima  BPJPH (Pasal 78 PP 39/2021).

Sertifikasi Halal bagi Pelaku UMK

Kewajiban Sertifikat Halal bagi pelaku UMK didasarkan atas pernyataan pelaku UMK, jika produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya, serta proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.

Pernyataan pelaku UMK dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan BPJPH, yang terdiri atas (Pasal 79 ayat (4) PP 39/2021): 

  • adanya pernyataan pelaku usaha yang berupa akad/ikrar yang berisi, kehalalan produk dan bahan yang digunakan, serta PPH. 
  • adanya pendampingan PPH (verifikasi dan validasi pernyataan kehalalan oleh pelaku usaha).

Pernyataan tersebut disampaikan kepada BPJPH untuk diteruskan kepada MUI, yang selanjutnya menyelenggarakan sidang fatwa halal untuk menetapkan kehalalan produk. Kemudian, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan fatwa halal tertulis.

Dapat disimpulkan terdapat keistimewaan bagi UMK, sebab untuk memperoleh Sertifikat Halal tidak perlu ada pemeriksaan atau pengujian produk. Tidak hanya itu, sertifikasi halal bagi pelaku UMK juga bisa tanpa biaya, lho! Namun, UMK tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut (Pasal 24 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil):

  • belum pernah mendapatkan fasilitasi/pembiayaan Sertifikat Halal.
  • secara aktif telah berproduksi paling singkat 3 tahun yang dibuktikan dengan NIB.
  • jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikat halal.
  • jenis produk/kelompok produk yang akan disertifikasi halal berdasarkan pada perusahaan dan/atau produk yang jumlahnya disesuaikan dengan merek produk.
  • pelaku UMK yang memproduksi barang, bukan penjual.

Biaya Sertifikasi Halal

Pasal 85 ayat (1) PP 39/2021 mengatur bahwa biaya sertifikasi halal dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Adapun, besaran biaya yang perlu dibayarkan pelaku usaha secara lebih spesifik diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2021 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal pada Kementerian Agama. PMK tersebut menyatakan bahwa layanan Sertifikasi Halal Barang dan Jasa dikenai biaya Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 5.000.000,00 per sertifikat.

Label Halal dan Keterangan Tidak Halal

Pada produk yang telah mendapatkan Sertifikat Halal, pelaku usaha diwajibkan untuk mencantumkan Laber Halal (Pasal 87 ayat (1) PP 39/2021). Sebaliknya, pada produk yang berasal dari bahan yang diharamkan, pelaku usaha yang memproduksi diwajibkan mencantumkan keterangan tidak halal, yang dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan (Pasal 92 ayat (1) PP 39/2021). Label atau keterangan tersebut wajib dicantumkan pada kemasan, bagian tertentu, dan/atau tempat tertentu pada produk.

Jenis Produk yang Wajib Bersertifikasi Halal

Eits, tapi tidak semua produk wajib bersertifkat halal, lho! Produk yang wajib bersertifikat halal terbagi atas barang dan jasa (Pasal 135 ayat (1) PP 39/2021).

Adapun, produk yang berupa barang meliputi (Pasal 135 ayat (2) PP 39/2021): 

  • makanan. 
  • minuman. 
  • obat.
  • kosmetik. 
  • produk kimiawi. 
  • produk biologi.
  • produk rekayasa genetik. 
  • barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan (hanya bagi barang yang berasal dari dan/atau mengandung unsur hewan). 

Sementara, produk yang berjenis jasa meliputi layanan usaha yang terkait dengan (Pasal 135 ayat (3) PP 39/2021):

  • penyembelihan. 
  • pengolahan. 
  • penyimpanan. 
  • pengemasan. 
  • pendistribusian. 
  • penjualan.
  • penyajian.

Adapun, makanan, minuman, obat, kosmetik, dan barang gunaan ditetapkan masing-masing jenisnya oleh Menteri Agama (Menag). Sementara, barang lainnya beserta jasa hanya yang terkait dengan makanan, minuman, obat, atau kosmetik.

Penahapan Kewajiban Bersertifikat Halal

Dalam kewajiban sertifikasi halal berlaku penahapan. Penahapan untuk pertama kali terdiri atas (Pasal 139 ayat (2) PP 39/2021): 

  1. Produk makanan dan minuman (dimulai dari 17 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2024).
  2. Bahan baku, Bahan tambahan pangan, dan Bahan penolong untuk produk makanan dan minuman.
  3. hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (dimulai dari tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2024).

Selain produk di atas dilakukan pada tahap selanjutnya, diantaranya (Pasal 141 ayat (1) PP 39/2021): 

  1. obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026.
  2. obat bebas dan obat bebas terbatas dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2029.
  3. obat keras dikecualikan psikotropika dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2034.
  4. kosmetik, produk kimiawi, dan produk rekayasa genetik dimulai dari tanggal 17 Oktober 2021 sampai dengan tanggal 17 Oktober 2026.

Sanksi

Ada sanksi yang menanti, lho apabila pelaku usaha tidak mengurus Sertifikat Halal, meski produknya masuk dalam kategori wajib bersertifikasi halal, sebagaimana diatur Pasal 135 ayat (1) PP 39/2021. Sankinya berupa peringatan tertulis hingga penarikan barang dari peredaran (Pasal 150 ayat (2) dan ayat (5) PP 39/2021).

Masih bingung dengan pengurusan Sertifikat Halal Anda? Prolegal siap membantu!

Author: Aleyna Azzahra Badarudin

Posted in