BPOM Cabut Sertifikat CPOB Imbas Maraknya Kasus Gagal Ginjal Akut

BPOM Cabut Sertifikat CPOB Imbas Maraknya Kasus Gagal Ginjal Akut

BPOM Cabut Sertifikat CPOB Imbas Maraknya Kasus Gagal Ginjal Akut

”Seiring berjalannya kasus gagal ginjal akut, BPOM mengambil langkah tegas mencabut sertifikat CPOB sekaligus izin edar terhadap dua perusahaan farmasi.”

Baru-baru ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberi sanksi administratif berupa pencabutan Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) milik dua perusahaan farmasi, yakni PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical.

Perlu diketahui bahwa kedua industri ini memproduksi obat sirup yang mengandung bahan berbahaya, yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Bahan berbahaya ini telah divalidasi oleh Kementerian Kesehatan menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak-anak.

Imbasnya, beberapa produk obat sirup dari kedua perusahaan farmasi tersebut pun terkena penghentian produksi, distribusi, penarikan kembali dan pemusnahan.

Dilansir dari nasional.kompas.com (01/11/2022), Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril melaporkan bahwa terdapat 304 kasus gagal ginjal akut per 31 Oktober 2022. Adapun rinciannya, yaitu dirawat sebanyak 46 kasus, meninggal 159 kasus atau 52 persen, dan yang sembuh 99 orang.

Sementara itu, Kepala BPOM Penny K. Lukito menemukan bukti bahwa kedua perusahaan yang dimaksud telah melakukan perubahan bahan baku propilen glikol dan sumber pemasoknya tanpa melalui proses pengujian bahan baku. Seharusnya, pengujian dilakukan sesuai dengan ketentuan standar yang berlaku.

Oleh karena itu, ada beberapa ketentuan dari BPOM terkait obat yang perlu disimak secara lengkap pada artikel berikut.

Definisi Sertifikat CPOB

Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang menyatakan bahwa industri farmasi telah memenuhi persyaratan dalam membuat obat dan/atau bahan baku obat.

Definisi tersebut dimuat dalam Peraturan BPOM Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (Perka BPOM 34/2018).

Baca juga: Sertifikat CPOB, Komponen Penting dalam Produksi Obat-obatan 

Dikutip dari situs resmi siaran pers BPOM RI, pencabutan Sertifikat CPOB kedua perusahaan tersebut adalah yang berisi persyaratan fasilitas produksi cairan oral non betalaktam.

Nah, pencabutan Sertifikat CPOB itu dilakukan agar kedua perusahaan farmasi tersebut tidak memiliki izin edar produk cairan oral non betalaktam untuk obat batuk sirup anak.

Definisi Izin Edar BPOM

Izin edar BPOM merupakan salah satu bentuk persetujuan registrasi yang diterbitkan oleh BPOM agar obat dapat diedarkan di seluruh wilayah Indonesia.

Hal tersebut disampaikan dalam Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat beserta berbagai perubahannya.

Oleh karena itu, izin edar BPOM wajib dimiliki para pelaku usaha industri farmasi sebelum produk bisa dijual di pasaran. Jika tidak, maka obat bisa dianggap ilegal.

Baca juga: Pengusaha Farmasi, Jangan Abai pada Ketentuan Izin Edar Obat!

Sertifikat CPOB dan Izin Edar Obat sebagai PB UMKU

PB UMKU yang memiki kepanjangan nama perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha, merupakan salah satu legalitas dalam proses pengurusan perizinan berusaha berbasis risiko.

Selain itu, mengutip situs resmi sistem Online Single Submission (OSS), PB UMKU juga dikenal dengan izin untuk pelaksanaan tahap operasional dan/atau komersial.

Sertifikat CPOB merupakan bagian dari PB UMKU pada sektor obat dan makanan yang digunakan untuk dapat memperoleh izin edar obat. 

Hal itu diatur dalam Lampiran III Peraturan BPOM Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Obat dan Makanan (Perka BPOM Nomor 10 Tahun 2021).

Sanksi Perusahaan Farmasi bila Tidak Memiliki Izin Edar

Sanksi administratif yang dapat menjerat perusahaan farmasi karena tidak memiliki izin edar dimuat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU 36/2009), antara lain (Pasal 188 ayat (3) UU 36/2009):

  1. Peringatan secara tertulis
  2. Pencabutan izin sementara atau izin tetap

Dalam pasal tersebut, disebutkan pula bahwa yang berwenang memberikan sanksi administratif adalah Menteri Kesehatan.

Namun, ada perubahan yang disematkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020).

Merujuk Pasal 188 UU 11/2020 sebagai perubahannya, yang berwenang memberi tindakan atau sanksi administratif adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah.

Selain sanksi administratif, ada pula sanksi pidana yang menjerat pelaku usaha industri farmasi atau siapa saja tanpa izin edar.

Sanksi pidana yang dimaksud, antara lain (Pasal 197 UU 36/2009):

  1. Pidana penjara, paling lama 15 tahun; dan/atau
  2. Pidana denda, paling banyak Rp1,5 miliar.

Sebagai tambahan informasi, pelaku usaha industri farmasi atau siapa saja yang terbukti dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu akan dijerat sanksi pidana berupa (Pasal 196 UU 36/2009):

  1. Pidana penjara, paling lama 10 tahun; dan/atau
  2. Pidana denda, paling banyak Rp1 miliar.

Masih bingung ngurus izin edar BPOM? Jangan sungkan untuk konsultasi pada Prolegal!

Author: Ryan Apriyandi 

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in