Seluk-beluk PHK, Mimpi Buruk para Pekerja

Seluk-beluk PHK, Mimpi Buruk para Pekerja

Seluk-beluk PHK, Mimpi Buruk para Pekerja

“Pemutusan hubungan kerja (PHK) sebisa mungkin harus dihindari oleh pihak-pihak yang terlibat, baik dari pelaku usaha, pekerja/buruh, maupun serikat pekerja/serikat buruh.”

Pemutusan hubungan kerja, atau lebih dikenal dengan sebutan PHK ini bagaikan mimpi buruk yang menyambar di teriknya siang bagi para pekerja/buruh (karyawan).

Selain itu, angka pengangguran juga bisa bertambah seiring dilakukannya PHK. Apalagi jika ada PHK besar-besaran dari perusahaan skala besar.

Salah satu contoh kejadian PHK yang baru saja terjadi dialami oleh para pekerja PT Shopee Indonesia.

Melansir Kompas.com, per Senin (19/09/2022), kisaran jumlah pekerja yang di-PHK adalah 3 persen dari total pekerja PT Shopee Indonesia. Alasannya karena perusahaan tengah mengambil langkah efisiensi.

Selain PT Shopee Indonesia, akhir-akhir ini cukup banyak perusahaan rintisan (startup) yang juga melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya.

Sebenarnya, apakah PHK bisa semudah itu dilakukan oleh para pelaku usaha (pengusaha)?

Tentu saja jawabannya tidak. Para pengusaha wajib tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait ketenagakerjaan.

Simak poin-poin penting yang wajib diketahui terkait PHK pada bahasan artikel berikut.

Definisi dan hubungan PHK dengan hubungan industrial

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Selain itu, PHK dikenal juga dengan istilah layoff permanen.

Seperti yang dikatakan pada definisi di atas, terdapat suatu hal tertentu atau alasan mengapa PHK bisa terjadi.

Jadi, pelaku usaha dilarang keras melakukan PHK secara semena-mena terhadap para pekerjanya.

Bahkan, UU 13/2003 juga mengamanatkan bahwa sebisa mungkin untuk tidak melakukan PHK. Artinya, PHK merupakan alternatif terakhir yang dapat diputuskan oleh para pelaku usaha.

Jika ada pekerja atau sekelompok pekerja yang tidak terima dengan keputusan perusahaan untuk melakukan PHK, maka perselisihan hubungan industrial pun dapat terjadi.

Adapun pengertian dari hubungan industrial merujuk UU 13/2003 adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Oleh karena itu, hubungan industrial erat kaitannya dengan PHK.

Alasan dilakukan PHK

Seperti bahasan pada subjudul sebelumnya, PHK tidak boleh sembarang dilakukan tanpa alasan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Alasan yang memperbolehkan adanya tindakan PHK disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU 11/2020), yaitu antara lain (Pasal 154A UU 11/2020):

  1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan
    perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh
  2. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian
  3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus
    menerus selama dua tahun
  4. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur)
  5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  6. Perusahaan pailit
  7. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
  8. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan PHK
  9. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri (dengan beberapa syarat yang diatur peraturan perundang-undangan)
  10. Pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis
  11. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama enam bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
  12. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana
  13. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan
  14. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
  15. Pekerja/buruh meninggal dunia

Alasan dilarang melakukan PHK

Selain alasan yang membolehkan adanya PHK, ada juga beberapa alasan PHK dilarang untuk dilakukan.

Alasan PHK dilarang dilakukan oleh pelaku usaha, antara lain (Pasal 153 ayat (1) UU 11/2020):

  1. Berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus
  2. Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  3. Menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
  4. Menikah
  5. Hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya
  6. Mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di
    dalam satu perusahaan
  7. Mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh
    di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
  8. Mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan
  9. Berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan
  10. Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan
    kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan

Prosedur PHK

Jika sudah memutuskan akan ada PHK, maka pihak pelaku usaha wajib memberi pemberitahuan kepada pekerja atau sejumlah pekerja terkait maksud dan alasan PHK.

Ketentuan pemberitahuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP 35/2021), di antaranya:

  1. Pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh paling lama 14 hari kerja sebelum PHK (Pasal 37 ayat (3)).
  2. Dalam hal PHK dilakukan dalam masa percobaan, surat pemberitahuan disampaikan paling lama 7 hari kerja sebelum PHK (Pasal 37 ayat (4)).

Kemudian, UU 11/2020 juga mengatur bahwa jika pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak di-PHK, maka penyelesaian perselisihan tersebut wajib dilakukan melalui perundingan bipartit.

Perundingan bipartit adalah perundingan antara pelaku usaha dan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

Jika tidak menemui titik temu, maka dapat diselesaikan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Namun, pelaku usaha tidak perlu menyampaikan pemberitahuan yang berisi maksud dan alasan terjadinya PHK apabila (Pasal 151A UU 11/2020):

  1. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
  2. Pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan kerjanya sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu
  3. Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
  4. Pekerja/buruh meninggal dunia

Hak pekerja yang terkena PHK

Pelaku usaha wajib memenuhi hak-hak yang melekat pada pekerja korban PHK, antara lain dengan memberikan (Pasal 156 ayat (1) UU 11/2020):

  1. Uang pesangon;
  2. Uang penghargaan masa kerja; dan/atau
  3. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima

Penasaran dengan seluk-beluk ketentuan PHK lebih lanjut? Jangan sungkan untuk konsultasi pada kami, Prolegal!

Author & Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in