Sistem Baru ereg RBA, Ini Dampaknya terhadap Izin Edar Pangan Olahan

Sistem Baru ereg RBA, Ini Dampaknya terhadap Izin Edar Pangan Olahan
Camilan sebagai salah satu hasil pangan olahan dalam kemasan berlabel. | Sumber foto: Pixabay/pexels.com

“Pasca adanya sistem ereg RBA, maka registrasi untuk izin edar kini memiliki jenis tingkatan risiko pangan olahan yang berbeda.”

Perizinan menjadi salah satu aspek penting dalam proses produksi pangan olahan di Indonesia. 

Namun, proses perizinan tersebut seringkali menjadi kendala bagi produsen pangan olahan dalam memasarkan produk mereka. 

Hal ini dikarenakan proses perizinan yang cenderung rumit dan memakan waktu yang cukup lama. 

Namun, kini pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah meluncurkan sistem baru bernama ereg RBA. Harapannya, dapat memudahkan proses perizinan pangan olahan di Indonesia.

Dengan sistem ini, perusahaan dapat mengajukan perizinan berusaha sektor pangan olahan secara online, sehingga dapat menghemat waktu dan biaya. 

Lantas, bagaimana sistem perizinan pangan olahan melalui sistem ereg RBA kini?

Kewajiban Memiliki Izin Edar

Sebelum mengetahui apa saja perubahan yang dibawa dalam sistem perizinan pangan olahan melalui ereg RBA, penting untuk terlebih dahulu mengetahui tujuan diadakannya sistem ini.

Dalam hal ini, salah satu tujuan yang dibawa dengan adanya sistem ini adalah untuk mempermudah perizinan pangan olahan.

Perizinan pangan olahan yang dimaksud adalah izin edar.

Sebab, pada dasarnya seluruh pangan olahan yang diproduksi, baik di dalam negeri maupun yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, wajib memiliki izin edar.

Izin edar pangan olahan yang dimaksud merupakan perizinan berusaha dari pemerintah pusat sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan.

Baca juga: Ekspansi Bisnis: Perhatikan Izin Ekspor Pangan Olahan

Hal ini dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU 18/2012).

Selain itu, terdapat beberapa perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU 6/2023).

Jenis Pangan Olahan yang Wajib Memiliki Izin Edar

Secara spesifik, Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pendaftaran Pangan Olahan (Peraturan BPOM 27/2017) menyebutkan beberapa ketentuan yang lebih khusus lagi untuk jenis pangan olahan wajib memiliki izin edar, di antaranya:

  1. Pangan fortifikasi;
  2. Pangan wajib Standar Nasional Indonesia (SNI);
  3. Pangan program pemerintah;
  4. Pangan yang ditujukan untuk uji pasar; dan
  5. Bahan Tambahan Pangan (BTP).

Baca juga: Daftar Pangan Olahan yang Wajib Punya Izin Edar BPOM

Perlu diketahui pula bahwa ketentuan wajib memiliki izin edar di atas dikecualikan untuk beberapa jenis pangan olahan, di antaranya (Pasal 3 ayat (1) Peraturan BPOM 27/2017):

  1. Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga;
  2. Mempunyai masa simpan kurang dari 7 hari;
  3. Diimpor dalam jumlah kecil;
  4. Digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku;
  5. Dikemas dalam jumlah besar dan tidak dijual secara langsung kepada konsumen akhir;
  6. Dikemas langsung di hadapan pembeli dalam jumlah kecil;
  7. Pangan siap saji; dan
  8. Mengalami pengolahan minimal (pasca masa panen).

Selain dari hal tersebut, maka produk pangan wajib untuk memiliki izin edar dari BPOM.

Perubahan yang Dibawa Ereg RBA

Saat melakukan pendaftaran baru untuk izin edar pangan olahan BPOM, maka pelaku usaha harus menentukan tingkat risikonya.

Adapun tingkat risiko pangan olahan terdiri dari 4 tingkatan, yang meliputi (Pasal 22 ayat (1) Peraturan BPOM 27/2017):

  1. Tingkat risiko tinggi;
  2. Tingkat risiko sedang;
  3. Tingkat risiko rendah; dan
  4. Tingkat risiko sangat rendah.

Namun, pasca adanya sistem ereg RBA ini, maka tingkatan pangan olahan terbagi kepada 3 tingkatan, yakni:

  1. Tingkat risiko menengah rendah (contoh: produk keripik, kopi atau teh).
  2. Tingkat risiko menengah tinggi (contoh: produk tepung, sarden kaleng, atau minyak goreng).
  3. Tingkat risiko tinggi (contoh: minuman beralkohol, susu, atau MSG).

Oleh karena itu, penting bagi pelaku usaha pangan olahan untuk memahami sistem ini dan regulasi yang menaunginya sebelum melakukan permohonan izin edar kepada BPOM.

Selain itu, nomor izin edar (NIE) yang awalnya memiliki 12 digit angka, kini berubah menjadi 15 digit.

Baca juga: Syarat Izin Penerapan CPPOB, Produsen Pangan Olahan Wajib Paham

Syarat Registrasi Izin Edar Pangan Olahan melalui ereg RBA

Kemudian, untuk melakukan registrasi perusahaan pada sistem ereg RBA, pelaku usaha (sebagai produsen dalam negeri) harus telah memiliki:

  1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
  2. Nomor Induk Berusaha (NIB);
  3. Dokumen pendukung sesuai tingkat risiko Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) “Industri Makanan/Minuman”, di antaranya:
    • Tingkat risiko menengah rendah: Sertifikat standar;
    • Tingkat risiko menengah tinggi: Sertifikat standar yang telah terverifikasi; atau
    • Tingkat risiko tinggi: Izin.
  4. Sertifikat Izin Penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) atau Sertifikat Program Manajemen Risiko (PMR).

Selain itu, setelah implementasi registrasi pangan olahan pada aplikasi ereg RBA, maka aplikasi lama hanya dapat digunakan untuk sejumlah pengajuan, yakni:

  1. Registrasi Variasi bagi pangan olahan yang telah memiliki NIE hingga habis masa berlakunya; dan
  2. Registrasi Baru Pabrik Cabang (single MD Anak) untuk Pabrik Induk yang sudah memiliki NIE pada aplikasi ereg sebelum ereg RBA.

Ingin urus izin edar pangan olahan tetapi bingung caranya? Serahkan saja semuanya pada Prolegal!

Author: Adhityo Adyahardiyanto

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in ,