Politisi Rangkap Jabatan sebagai Komisaris, Bolehkah?

Politisi Rangkap Jabatan sebagai Komisaris, Bolehkah?
Ilustrasi seorang komisaris. | Sumber foto: Andrew Neel/unsplash.com

“Tidak sedikit para politisi yang juga memiliki jabatan sebagai komisaris.”

Agenda pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia kini sudah semakin dekat.

Baliho dan spanduk kampanye dari para politisi pun semakin membanjiri sudut-sudut kota.

Pada praktiknya, tidak sedikit para pelaku usaha yang mencalonkan diri sebagai politisi, baik itu di legislatif maupun eksekutif. Begitu juga sebaliknya.

Beberapa di antaranya bahkan menempati posisi komisaris di perusahaan-perusahaan besar yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, banyak masyarakat yang memperdebatkan mengenai apakah seseorang yang telah memiliki jabatan politik diperbolehkan secara hukum untuk menempati posisi strategis di perusahaan, seperti halnya komisaris tersebut.

Sebenarnya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) telah mengatur mengenai kriteria orang perseorangan yang tidak dapat diangkat menjadi anggota komisaris suatu PT secara umum.

Simak pembahasan lebih lanjut pada artikel berikut ini!

Baca juga: Serba-serbi Dewan Komisaris, Mulai dari Definisi hingga Tanggung Jawabnya

Orang yang Tidak Dapat Diangkat menjadi Komisaris

Pada dasarnya, UU 40/2007 tidak melarang secara tegas bagi politisi untuk menempati posisi-posisi strategis di suatu PT, termasuk menjadi komisaris.

Namun, UU 40/2007 juga menetapkan suatu kriteria dasar mengenai siapa saja orang yang dapat diangkat menjadi komisaris.

Pertama, seorang komisaris harus merupakan orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 110 ayat (1) UU 40/2007).

UU 40/2007 tidak mendefinisikan secara lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan “cakap melakukan perbuatan hukum”. 

Baca juga: Syarat Menempatkan Anak sebagai Direksi dalam PT Sendiri

Namun, jika mengacu kepada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), cakap untuk melakukan perbuatan hukum mengartikan bahwa orang tersebut harus memenuhi kemampuan baik secara umum maupun mental.

Dalam KUHPer sendiri, yang dikatakan cakap secara umur adalah orang yang mencapai 21 tahun atau telah menikah. 

Sedangkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, usia menikah yang diizinkan adalah ketika sudah menginjak 19 tahun.

Adapun yang dimaksud cakap secara mental adalah orang yang sehat secara mental ataupun tidak dibawah pengampuan, baik yang ditetapkan secara hukum maupun tidak. 

Suatu perbuatan hukum pula dikatakan tidak sah apabila dilakukan dengan orang yang secara mental dikatakan tidak mampu.

Baca juga: 4 Perbedaan Direksi dan Komisaris

Persyaratan Tambahan untuk Menjadi Komisaris, Politisi Termasuk?

Kedua, seorang komisaris dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dilarang untuk (Pasal 110 ayat (1) UU 40/2007):

  1. Dinyatakan pailit;
  2. Menjadi anggota direksi atau anggota komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
  3. Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan.

Bagi komisaris yang diangkat dan memiliki salah satu kriteria larangan tersebut, maka pengangkatan tersebut dapat dikatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, tidak dapat didaftarkan kepada Kementerian Hukum dan HAM akta pengangkatannya.

Suatu PT juga diberikan kebebasan untuk menetapkan kriteria dasar untuk menentukan siapa saja yang dapat menjadi anggota komisaris di PT-nya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 110 ayat (2) UU 40/2007).

Baca juga: Alasan yang Membuat Komisaris Diberhentikan dari Jabatannya

Hal ini dapat dilihat pada Anggaran Dasar masing-masing PT yang mengatur mengenai tata cara pengangkatan, penggantian dan pemberhentian komisaris (Pasal 15 UU 40/2007).

Dalam beberapa kondisi, regulasi yang mengatur mengenai jabatan politik itu sendiri juga kerap melarang pejabatnya untuk memiliki kedudukan pada PT, baik sebagai komisaris atau direksi.

Oleh karena itu, penting bagi politisi untuk memperhatikan regulasi sektoral masing-masing yang berlaku bagi dirinya sebelum menempati jabatan komisaris dalam suatu PT.

Rangkap Jabatan pada Anggota Legislatif

Sebagai tambahan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) juga tidak melarang anggota legislatif, seperti DPR, DPRD, dan DPD menjabat sebagai komisaris.

Namun, DPR, DPRD, dan DPD dilarang merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris pada badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.

Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 240 ayat (1) huruf m UU 7/2017.

Kesimpulannya, anggota legislatif secara bersamaan boleh-boleh saja menjadi komisaris pada badan usaha swasta.

 

Mau mendirikan PT, tetapi bingung mengurus perizinan berusahanya? Jangan ragu untuk hubungi Prolegal!

Dapatkan penawaran menariknya dengan cara klik tautan berikut: Layanan Pendirian PT PMDN.

Author: Adhityo Adyahardiyanto

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in ,