Perbedaan Badan Usaha Badan Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

Perbedaan Badan Usaha Badan Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

Perbedaan Badan Usaha Badan Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

“Ada dua jenis badan usaha di Indonesia, yaitu berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.”

Dalam rangka memulai suatu bisnis, maka diperlukan pertimbangan secara matang seperti apa bentuk dan kegiatan usaha yang akan dipilih.

Biasanya, kelebihan dan kekurangan tiap bentuk badan usaha menjadi salah satu faktor pelaku usaha dalam menentukan pilihan.

Selain itu, pelaku usaha juga harus menentukan apakah ingin mendirikan badan usaha berbadan hukum atau badan usaha bukan berbadan hukum.

Oleh karena itu, penting untuk mengetahui apa saja perbedaan dari badan usaha berbadan hukum dan badan usaha tidak berbadan hukum sebelum memulai suatu bisnis.

Lantas, apa saja perbedaan yang paling mencolok antara keduanya? Simak pemaparannya lebih lanjut dalam artikel berikut.

Definisi

Badan usaha berbadan hukum adalah badan usaha yang menjadi subjek hukum seperti orang. Oleh karena itu, badan usaha badan hukum memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan sendiri.

Menyadur dari buku Transformasi Badan Hukum di Indonesia yang ditulis Suparji (2015), ada beberapa syarat agar badan usaha bisa menyandang status badan hukum, yaitu antara lain:

  1. Harta kekayaan perusahaan dipisah dengan harta kekayaan pribadi para pendiri dan pengurusnya.
  2. Kepentingan bersama menjadi tujuan pendirian.
  3. Ada beberapa orang yang menjadi pengurus secara terorganisir.

Sementara itu, badan usaha bukan berbadan hukum tidak memenuhi kriteria sebagai subjek hukum. Oleh karenanya, subjek hukum dipegang oleh orang-orang yang menjadi pendiri dan sekutunya.

Hal tersebut menyebabkan tidak adanya pemisahan harta kekayaan milik pribadi dan badan usaha.

Klasifikasi Badan Usaha 

Menurut Pujiyono (2014) dalam buku berjudul Hukum Perusahaan, yang tergolong dalam badan usaha berbadan hukum meliputi:

  1. Perseroan Terbatas (PT).
  2. Yayasan.
  3. Koperasi.
  4. Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
  5. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Baca juga: 4 Perbedaan PT Terbuka dan PT Tertutup

Sedangkan klasifikasi badan usaha bukan berbadan hukum meliputi:

  1. Perusahaan perorangan, yang terdiri dari usaha perorangan atau usaha dagang.
  2. Perusahaan persekutuan, yang terdiri dari Persekutuan Perdata, Firma, dan Persekutuan Komanditer (CV).

Subjek Hukum

Seperti yang sudah dibahas di subjudul sebelumnya, badan usaha berbadan hukum merupakan subjek hukum itu sendiri. Sebagai subjek hukum, maka badan usaha yang tergolong dalam jenis ini mampu untuk melakukan perbuatan hukum.

Namun, karena badan usaha merupakan benda tidak bergerak (tidak memiliki nyawa), maka segala perbuatan hukumnya harus diwakili oleh pendiri atau pengurus yang ditunjuk.

Kita bisa melihat PT sebagai contoh. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU 40/2007), beberapa perbuatan hukum PT di antaranya penggabungan, pengambilalihan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran.

Misal, suatu PT hendak melakukan penggabungan dengan PT lain. Maka, yang berkapasitas untuk mewakili PT adalah direksi. Hal ini diatur dalam UU 40/2007, bahwa salah satu tugas dan fungsi direksi adalah bisa menjadi perwakilan PT, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Baca juga: Ruang Lingkup Direksi, dari Definisi hingga Tanggung Jawabnya 

Sementara itu, badan usaha bukan berbadan hukum tidak berperan sebagai subjek hukum. Subjek hukum di sini tetap para pendiri dan sekutu atau pengurusnya. 

Jika sedang melaksanakan kegiatan yang bersifat hukum dengan pihak ketiga, maka badan usaha bukan berbadan hukum akan diwakilkan oleh seorang pengurus yang biasanya merupakan pendirinya. Badan usaha jenis ini tidak memiliki hak dan kewajiban secara tegas seperti halnya pada badan usaha berbadan hukum.

Pemisahan Harta

Akibat dari menjadi subjek hukum membuat badan usaha berbadan hukum memiliki harta kekayaan sendiri. Umumnya disebut harta kekayaan perusahaan. 

Otomatis, para pendiri dan pengurusnya juga memiliki harta kekayaan pribadi yang terpisah dari perusahaan.

Baca juga: Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan saat Melakukan Perubahan Anggaran Dasar PT

Sedangkan, badan usaha bukan berbadan hukum tidak memiliki harta kekayaan. Baik modal maupun biaya lain yang digunakan sebagai pendirian serta operasionalnya murni berasal dari harta para pendiri dan sekutunya.

Sebab, tidak ada aturan yang mengatur dengan jelas terkait pemisahan harta ini. Akibat ke depannya, tak jarang harta para pendiri dan pengurus atau sekutunya menjadi tercampur satu sama lain. 

Pertanggungjawaban Jika Mengalami Kerugian dan Pailit

Jika ada kerugian atau pailit yang menerjang badan usaha berbadan hukum, maka perusahaan yang bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan.

Namun, sekali lagi karena badan usaha bukanlah sesuatu yang bernyawa, maka pertanggungjawaban ini dilimpahkan pada manusia yang menjadi pengurusnya.

Contohnya, jika suatu PT mengalami kerugian atau pailit, maka yang harus bertanggung jawab adalah direksi, baik secara pribadi maupun tanggung renteng. Selain direksi, komisaris juga bisa ikut terseret dalam perkara tanggung jawab ini.

Baca juga: Apakah Direksi Bisa Dipecat?

Walau begitu, ada beberapa faktor yang menghapus pertanggungjawaban atas kerugian dan pailit, baik oleh direksi maupun komisaris. Hal ini diatur lebih lanjut dalam UU 40/2007 dan anggaran dasar masing-masing PT.

Namun, karena ada pemisahan harta yang jelas, maka harta kekayaan pribadi milik direksi dan komisaris bisa terjamin aman. Pertanggungjawaban kerugian atau pailit dari direksi dan komisaris ini sebatas modal yang telah ditanam pada PT yang bersangkutan.

Hal ini berkebalikan dengan badan usaha bukan berbadan hukum. Menurut Pujiyono (2014) dalam Hukum Perusahaan, jika badan usaha ini mengalami kerugian terhadap pihak ketiga, maka menjadi tanggung jawab pendiri dan pengurus atau sekutunya. Baik secara pribadi maupun tanggung renteng.

Berlaku juga jika perusahaan mengalami pailit. Dampaknya, harta kekayaan milik pendiri dan pengurus atau sekutunya turut tersita juga.

Baca juga: Serba-serbi Dewan Komisaris, Mulai dari Definisi hingga Tanggung Jawabnya

Prosedur Pendirian

Dalam proses pendirian badan usaha yang berbadan hukum tentu diperlukan adanya pengesahan yang berasal dari pemerintah terhadap anggaran serta akta pendirian dasar Misalnya, akta pendirian suatu PT disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Pasal 7 ayat (4) UU 40/2007).

Baca juga: Catat! Begini Cara Mengurus Pendirian PT Perorangan di Jakarta

Sedangkan, badan usaha yang tidak berbadan hukum pada dasarnya tidak mewajibkan adanya akta notaris untuk pendiriannya.

Berdasarkan penuturan Pujiyono (2014) pada buku Hukum Perusahaan, pendirian badan usaha bukan badan hukum pun bisa saja didirikan dengan akta di bawah tangan (tidak perlu keterlibatan notaris) atau bahkan secara lisan saja.

Namun, pendirian secara lisan ini tidak digunakan sebagai alasan untuk merugikan pihak ketiga.

Walau begitu demi mendapatkan kepastian hukum, tetap dianjurkan agar badan usaha bukan berbadan hukum ini mengurus pendirian dengan akta notaris.

Apalagi semenjak Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata (Permenkumham 17/2018) disahkan, persekutuan perdata, firma, dan CV seperti diwajibkan untuk melakukan pendaftaran kepada Menteri Hukum dan HAM.

Pendaftaran badan usaha berbadan hukum dan badan usaha bukan berbadan hukum sama-sama bisa diajukan secara daring melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) milik Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU).

 

Mau mendirikan badan usaha seperti PT, CV, firma, dan sebagainya? Jangan ragu untuk hubungi Prolegal!

Author: Ryan Apriyandi

Editor: Bidari Aufa Sinarizqi

Posted in